RETHINKING ISLAM (Mohammed Arkoun)
Makalah
ini diajukan guna memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah
Pemikiran
Modern di Dunia Islam
Dosen
Pengampu
Drs. Abd Malik Usman, MSI
Disusun oleh:
Kelompok VII ( 3 PAI-A )
Tri Mardina Cahyani (10411008)
Ahmad Syauqi Noor (10411024)
Ajeng Rosalinda (10411042)
Suprapti Wulaningsih (10411043)
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
ISLAM memiliki peran penting historis
bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap fenomena
ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan untuk mendorong dan memprakarsai
pemikiran yang berani, bebas dan produktif tentang Islam sekarang. Dalam wacana pemikiran islam kontemporer, kajian pemikiran Islam model
Mohammed Arkoun mempunyai corak yang sangat berbeda dengan corak pemikiran
telaah pemikiran Islam yang selama ini di kenal secara umum, yakni telaah
pemikiran Islam model para orientalis. Untuk memperoleh kejelasan peta
pemikiran keagamaan yang ada, maka di perlukan kajian ulang dan radikalisasi
terhadap naskah-naskah keagamaan era klasik skolastik yang biasanya di warisi
begitu saja tanpa adanya sikap kritis sedikitpun dari kaum muslimin yang hidup
pada era sekarang ini
Menurut Arkoun pemikiran kembali (Rethinking) Islam mengandaikan bahwa
Arkoun telah mengulang posisi dari ishlah
yang sudah dikenal baik menjadi pemikiran
reformis yang telah direpresentasikan sejak abad ke-19 oleh aliran salafi. Pembahasan dalam makalah ini
mengenai Rethinting Islam (Arkoun) dapat terurai dalam rumusan masalah di bawah
ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah
Mohammad Arkoun dan apa pemikiran islam dari Arkoun?
2.
Apa metode yang digunakan dalam
pemikiran Mohammad Arkoun?
3.
Apa saja
karya-karya dari Mohammad Arkoun?
4.
Bagaimana pemikiran seorang Mohammad Arkoun yang paling exist?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat
mengenal dan mengetahui pemikiran Islam dari Arkoun.
2.
Mengetahui metode yang
digunakan dalam pemikiran Mohammad Arkoun.
3.
Mengetahui
karya-karya dari Mohammad Arkoun.
4.
Mengetahui
hasil pemikiran Arkoun yang paling exist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas Biografi
Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito
Mimoun, Kabilia sebelah timur Aljir, Aljazair, suatu daerah yang terletak di
pegunungan Berber.[1] Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa
mudanya pada tiga bahasa : bahasa Kabilia,[2] bahasa Arab yang dibawa
bersama ekspansi Islam sejak abad pertama hijriah, dan bahasa Prancis yang
dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830-1962.[3]
Sampai batas tertentu, tiga bahasa itu mewakili tiga tradisi dan orientasi
budaya yang berbeda : bahasa Kabilia merupakan wadah penyampaian sehimpunan
tradisi dan nilai pengarah yang menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi yang
sudah beribu –ribu tahun lamanya; bahasa Arab adalah alat pengungkapan dan
pelestarian tradisi dalam bidang keagamaan, yang mengaitkan Aljazair dengan
daerah dan bangsa lain di Afrika Utara dan Timur Tengah; bahasa Prancis
merupakan bahasa pemerintahan dan sarana pemasukan nilai dan tradisi Ilmu Barat
yang disampaikan melalui sekolah-sekolah Prancis yang didirikan oleh penguasa
penjajah dalam jumlah yang relatif besar di daerah Kabilia.
Sampai batas tertentu juga, ketiga bahasa
itu mewakili cara berfikir dan memahami yang berbeda. Situasi tersebut
mempengaruhi Arkoun. Sejak kecil ia bergaul secara intensif dengan ketiga
bahasa itu, bahasa Kabilia dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Prancis di
sekolah dan dalam urusan administratif, dan akhirnya bahasa Arab yang baru
dimulai dialaminya ketika ia masuk sekolah menengah di Oran, kota utama di
Aljazair bagian barat. Pendidikan Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa
asalnya, kemudian belajar sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Kemudian, Arkoun melanjutkan
studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar
bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di
daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari
Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di
Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agr ege
bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di
Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun
diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969,
Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh
perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu
sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat
pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi
serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah
yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa
dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya
mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang
berbeda. Sosok Arkoun yang demikian ini dinilai sebagai cendekiawan yang
melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi
kemanusiaan, sebab baginya, pemikiran dan aksi haruslah saling berkaitan.
B.
Arkoun dan
Pemikiran Islam
1. Metodologi dan Pendekatan Mohammed Arkoun
Metodologi dan pendekatan yang digunakan Mohammad Arkoun sedikit banyak
telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada, yaitu: tradisi pemikiran budaya Timur Tengah kuno
yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran monoteisme yang
dipikirkan (dibawa) oleh para Nabi. Sehingga, Arkoun mengemukakan bahwa dirinya
sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingin
tahuannya secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri
studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas
lama. Dengan demikian menurut Mohammed
Arkoun, pada saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara
luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah
bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan
yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan
yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi
epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui
contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk
sosial sejarah. Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis yang dilakukannya ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan
betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk
memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan
sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.[4] Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode
dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan
epistemologi modern yang kritis.
Dengan
demikian, nalar kritis seseorang harus dibebaskan dari ontologi,
transendentalisme, dan substansionalisme yang mengikat, membatasi kebebasan dan
memenjarakannya, terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai
macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. Dalam melaksanakan proyek
besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang
dianggap Mohammed Arkoun memiliki otoritas, karena hanya dia yang dapat
memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus
juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam bahasa yang lain, agar
kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa
memberikan pengaruh pada komunitas.[5]
2.
Karya – Karya
Mohammed Arkoun
Di antara karya-karyanya adalah Rethinking Islam
Today, Mapping Islamic Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary
Islamic Thought, al-Turath: Muhtawahu
wa Huwiyyatuhu –sijjabiyatuhu wa salbiyatuhu, Min al-Ijtihad ilal al-Naqd
al-‘Aql al-Islami, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta’shil: Nahwa Tarikhin Akhbar li al-Fikr al-Islami,
al-Quran min al-Tafsir bil
Mauruth, Lectures de Coran, Min Faysal al-Tafriqah ila Fasl al-Maqail: Aina huwa al-Fikr al-Islami
al-Mu’ashir, The Concept of Authorithy
in Islamic Thought,dan Religion and Society. Sejumlah karya besar Arkoun meliputi[6];
a. La pensee arabe (Dunia Perkembangan Arab),Paris 1973.
b. Ouvertures Sura I ‘Islam (Catatan-catatan
Pengantar untuk Memahami Islam).
c. Contribution atitude de Islam humannisme arabae au
IV/X siecle : Miskawayh Philosiphe
historien (sumbangan pada Pembahasan Humanisme Arab pada Abad IV/X; Miskawaih
sebagai Filsuf dan Sejarawan), Paris, Grancher,1989.
d. Essais sur la pensce Islamique(Esai-esai tentang
Pemikiran Islam),Paris Virin,1973
e. Lectures de Coran (Tokoh tentang Alquran) Paris,
1982.
f. Pour une Critique de la Raison Islamique (Demi
Kritik Nalar Islami)Paris,1984.
3. Pemikiran Mohammed Arkoun.
Perhatian Arkoun sangat
besar terhadap persoalan Islam yang intinya dapat dikelompokkan dalam pemikiran
islam yaitu masalah kemasyarakatan, pemahaman terhadap kitab suci, pengertian
etika, serta kaitannya antara islam dan modernitas. Arkoun dalam studinya ia
menggunakan pendekatan ilmu sosial untuk memahami Islam sebagai suatu agama
yang dianut oleh masyarakat majemuk dizaman modern.
Dalam Islamisasi pengetahuan
Barat, Arkoun mempunyai wewenang dan keunikan sendiri dalam menggagas pemikirannya,
ia sangat memahami seluk beluk tentang Barat. Kebanyakan pemikirannya terilhami
gagasan-gagasan Barat kontemporer, dan juga upaya untuk menghidupkan pemikiran
dalam model atau corak baru.[7] Arkoun menganjurkan untuk
melakukan usaha pembebasan atas pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan
dengan pendekatan kajian historis dan kritis dan dengan perangkat pemikiran
ilmu pengetahuan Barat mutakhir. Pemikirannya banyak mengarah kepada usaha para
peneliti Islam yang mendekati Islam melalui karya-karya tulis dari berbagai
tokoh klasik. Mengenai hal yang menyangkut pemikiran logis dan rasional seperti
fiqh, terutama Teologi agar melampaui batas studi Islam Tradisional; Hal
tersebut tampak bahwa tulisan Arkoun memusatkan perhatian pada tokoh- tokoh
besar seperti Miskawaih dan tokoh lainnya.
Landasan utamanya
adalah pengetahuan modern yang menjadi pendekatan Arkoun terhadap Islam.
Karena, menurutnya sejarah masyarakat islam sangat berkaitan dengan masyarakat
Barat. Tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dengan pemikiran Islam.
Keduanya harus dihargai. Keduanya perlu dievaluasi, mengingat konteks sejarah
ada rumpun dalam “kelompok ahli-ahli kitab” yang menurutnya untuk merevormasi
universalitas tanpa merusak partikularitas.[8] Perkembangan mutakhir tentang
pemikiran ilmu-ilmu keislaman, telah menerima ilmu ushul fiqih dalam fungsi
metodologi projektifnya merupakan suatu dukungan ilmiah dan intelektual bagi
sifat agama
dalam hukum islam. Suatu dekontruksi kritis gagasan dan tipe rasionalitas
penting untuk secara modern menilai kembali wahyu sebagai gejala budaya dan
sejarah yang komplek. Arkoun mendorong adanya islamologi terapan dalam
pengembangan pemikiran dan nalar islam. Menurutnya, berbagai karya klasik saat
itu menjadi kajian penting masyarakat
Barat. Suatu pendekatan atau metodologis yang tidak mungkin terabaikan adalah
bahwa ada nasib kesejarahan antara barat dan islam dalam konteks historis.
Catatan penting dalam
pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk
mencermati khasanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam.
Ia sebenarnya punya filterisasi atas barat
untuk memadukannya dengan Islam. Pisau analisisnya adalah perangakat teoritis
barat yang digunakannya untuk mengislamisasikan nilai yang terbaratkan. Arkoun
juga ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim. Mencitrakan islam baik
isi nilai keislaman maupun muatan permukaan dari umatnya, agar persepsi yang
keliru dari masyarakat barat terhadap islam dapat dihilangkan. Arkoun
mencitrakan Islam bukan dengan cara menonjolkan islam dalam keanekaragaman,
tapi Islam yang Islami dalam kesatuan.
Arkoun menjabarkan selama
beberapa dasawarsa umat islam seakan lupa tentang segala sesuatu yang berbau
Barat juga terkandung berbau Eropa. Menurutnya Eropa perlu dicermati esensi-esensi
peradabannya jangan hanya diambil permukaannya saja. Arkoun berusaha menyatakan
diri sebagai perwakilan yang mencoba mengedepankan islam apa adanya, baik
selaku nilai suci maupun sudah terkontekstualisasi dalam sejarah. Muatan Islam
tersebut selain memudahkan kelompok pemula islam, juga memudahkan bagi kelompok
yang meremehkan dan memandang Islam sebagai suatu nilai yang sudah tercatatkan sejarah. Dari
sisi ini, karya-karya Arkoun sangat melewati batas – batas pemikir sebelumnya
mengenahi Islam
Memikirkan kembali (rethinking) Islam mengandaikan bahwa Mohammed
Arkoun tengah mengulang posisi dari ishlah
yang sudah dikenal baik – pemikiran reformis yang telah dipresentasikan sejak
abad ke-19 oleh aliran salafi. Arkoun
ingin menghindari berbagai persamaan antara perspektif modern atau pemikiran
kritis radikal yang diaplikasikan pada banyak subjek dan pemikiran ishlahi yang
dalam tradisi Islam merupakan sebuah
sikap mitis yang kurang lebih berpaduan dengan pendekatan historis terhadap
masalah-masalah yang berhubungan dengan visi keagamaan.
Mohammed Arkoun tidak akan lagi memaksakan pentingnya linguistik dan
semiotika dalam memikirkan kembali status kognitif wacana agama. Namun, Arkoun
menekankan pada berbagai pandangan yang sudah dikembangkan pada beberapa esai
yang dihimpun dalam Critique de la raison
Islamique, yang membahas hal-hal berikut:
1.
Alat-alat untuk pemikiran baru.
2.
Mode-mode pemikiran.
3.
Dari yang tak terpikirkan ke
yang terpikirkan.
4.
Masyarakat Kitab.
5.
Strategi dekonstruksi.
6.
Wahyu dan sejarah.
1.
Alat-alat untuk pemikiran baru
Periodisasi sejarah pemikiran dan sastra selama ini ditentukan oleh
peristiwa-peristiwa politis. Kita
sekarang ini berbicara tentang periode Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmani.
Bagaimanapun, ada lebih banyak kriteria yang mencerahkan yang dapat kita
gunakan untuk membedakan periode-periode perubahan dalam sejarah pemkiran. Kita
harus mempertimbangkan diskontinuitas-diskontinuitas yang mempengaruhi kerangka
kerja konseptual yang digunakan dalam sebuah wilayah kultural yang telah ada (a given cultural space). Konsep-konsep
mengenai nalar dan sains (‘ilm) yang digunakan dalam al-Qur’an misalnya, tidak
sama dengan yang kemudian dikembangkan oleh kaum falasifa, menurut aliran Platonik dan Arestotelian. Bagaimanapun,
konsep-konsep yang dielaborasi dalam wacana al-Qur’an sekarang masih digunakan
secara akurat karena episteme yang
diperkenalkan al-Qur’an tidak pernah dipertimbangkan secara intelektual.
Episteme merupakan yang lebih baik bagi studi pemikiran karena ia concen dengan struktur dari wacana itu –
postulat-postulat implisit yang mengendalikan konstruksi sintaksis dari wacana
itu. Untuk mengontrol validitas
epistemologis dari berbagai wacana, adalah penting untuk menemukan dan
menganalisis postulat-postulat implisitnya.
Upaya ini tidak pernah dilakukan untuk semua wacana dalam pemikiran Islam.
Itulah mengapa Arkoun harus bersikeras menuntut digunakannya episteme baru yang
secara implisit ada dalam jaringan konsep-konsep yang digunakan dalam
sains-sains sosial dan kemanusiaan semenjak akhir abad ke-16.
Adalah tidak mungkin misalnya, menggunakan bahasa arab untuk
mengekspresikan “masalah Tuhan”, yang menghubungkan Allah dan musykil (masalah yang sangat sulit);
Allah tidak bisa dianggap sebagai problematik. Dia dikenal – baik,
dipresentasikan dengan baik dalam al-Qur’an; manusia harusnya hanya
merenungkan, menginternalisasi, dan mematuhi apa yang diwahyukan Allah Dirinya
dalam firman-Nya. Pembahasan klasik
mengenai sifat-sifat Allah tidak bisa diterima oleh semua mazhab; dan akhirnya
sifat-sifat itu dihimpun sebagai nama-nama Allah yang paling indah (asma Allah al-husna), tapi ditolak sebagai
subjek penelitian ilmiah.
2.
Mode-Mode Pemikiran
Mohammed Arkoun mengklarifikasi dan melakukan diferensiasi antara
dua mode pemikiran yang diadopsi oleh para pemikir muslim saat lahirnya
modernitas intelektual dalam masyarakat mereka (bukan hanya dalam pemikiran),
yaitu sejak permulaan Nahdha di abad
ke-19. Arkoun tidak akan menekankan trend
yang dikenal baik dari pemikiran reformis salafi
yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Inilah yang
Mohammed Arkoun sebut sebagai jalan pemikiran ishlahi yang telah menjadi karakteristik pemikiran Islam sejak
wafatnya Nabi. Prinsip-prinsip umum bagi semua pemikir muslim, ‘ulama mujtahidin, sebagaimana bagi para
sejarahwan yang mengadopsi kerangka kerja teologis yang diberikan oleh divisi
waktu menjadi dua bagian – sebelum/ sesudah hijriah (seperti sebelum/ sesudah
masehi) – adalah semua yang mentransendensikan Kebenaran Ilahi yang telah
diberikan kepada umat manusia oleh wahyu dan secara konkret direalisasikan oleh
Nabi melalui inisiatif-inisiatif historis di Madinah.
Untuk memikirkan kembali Islam,
seseorang harus memahami asal-usul sosio-kultural pemikiran ishlahi dan pengruhnya terhadap nasib
historis masyarakat-masyarakat tempat pemikiran ini telah atau masih dominan.
Untuk menilai validitas epistemologis pemikiran
ishlahi, seseorang memulai
dari masalah-masalah radikal dan awal yang berhubungan dengan proses generatif,
struktur dan penggunaan ideologis pengetahuan. Dengan ini, dimaksudkan setiap
jenis dan level pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia yang hidup, bertindak,
dan berpikir dalam situasi sosial-historis yang yelah ada. Pemikiran radikal
merujuk pada kondisi biologis, historis, linguistik dan semiotik yang diberikan
oleh masyarakat sebagai wujud-wujud alami. Dari perspektif ini, Wahyu Islam
hanyalah sebuah upaya, di samping upaya-upaya yang lain, untuk emansipasi umat
manusia dari batasan-batasan alami kondisi biologis, historis, dan linguistik
mereka.
3.
Dari yang tak Terpikirkan ke yang Terpikirkan
Islam dipresentasikan dan dihidupkan sebagai sebuah sistem
kepercayaan dan non-kepercayaan yang tidak bisa ditundukkan pada penelitian
kritis apapun. Dengan demikian, membagi wilayah menjadi dua bagian: yang tak
terpikirkan dan bukan terpikirkan. Kedua konsep ini bersifat historis dan tidak
filosofis. Wilayah perspektif dari masing-masing bagian berubah melalui sejarah
dan berbeda dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Sebelum upaya
sistematisasi yang dilakukan oleh Syafi’i mengenai konsep penggunaan sunnah dan ushuli, banyak aspek pemikiran Islam yang masih merupakan wilayah
yang terpikirkan. Wilayah itu menjadi tak terpikirkan setelah kemenangan teori
Syafi’i dan juga elaborasi dari “kumpulan-kumpulan” otentik. Sama halnya,
masalah-masalah yang berhubungan dengan proses historis pengumpulan al-Qur’an
dalam sebuah mushaf resmi menjadi
semakin tak terpikirkan dibawah tekanan resmi kekhalifahan karena al-Qur’an
telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekusaan
politik dan menyatukan umat. Keputusan resmi terakhir yang menutup setiap
pembahasan mengenai bacaan-bacaan mushaf
ortodoks yang diterima telahdibuat oleh qadhi
Ibn Mujahid setelah adanya percobaan Ibn Shumbudh (abad ke-4 H/ 10 M).
4.
Masyarakat Kitab
Mohammed Arkoun memperkenalkan konsep ini sebagai suatu kategori
historis untuk memperdalam analisi mengenai agama-agama wahyu. Pertama
menekankan fakta yang signifikan bahwa tiga agama wahyu belum pernah ditelti
secara komparatif. Bahkan, masih ada literatur deskriptif, terutama mengenai
Islam dan Kristen, tengah dikembangkan sesuai dengan dialog Islam-Kristen, tapi postulat-postulat teologis yang diterima
dalam masing-masing tradisi masih mendominasi berbagai analsis tentang
agama-agama wahyu.
Arkoun menyebut masyarakat-masyarakat Kitab yang telah dibentuk sejak abad pertengahan oleh kitab sebagai sebuah
fenomena religius dan kultural. Kitab itu sendiri mempunyai dua makna dalam
persperktif ini. Kitab Langit (The
Heavenly Book)yang dijaga oleh Tuhan dan memuat semua firman Tuhan yang
disebut Umm al-Kitab dalam al-Qur’an.
5.
Strategi Dekonstruksi
Hingga kini kita telah mempresentasikan unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan
yang bertindak dalamMasyarakat Kitab. Ini tidak cukup memikirkan dalam cara
baru mengenai pertentangan antara masyarakat-masyarakat kitab dan
masyarakat-masyarakat sekular. Memikirkan tentang pertentangan ini berarti
memikirkan dari perspektif baru mengenai nasib manusia dengan dua akibat
historis utama. Masyarakat Kitab, seperti halnya dengan masyarakat sekular,
telah menunjukkan batas-batas intelektual dan kegagalan-kegagalan empirik dari
paradigma respektif mereka bagi tindakan historis.
Mamikirkan situasi historis kita yang baru merupakan sebuah usaha
positif. Tidak bermaksud mengajukan kritik negatif terhadap upaya-upaya
sebelumnya pada emansipasi eksistensi manusia sebagai mana kita ingin
memberikan jawaban-jawaban yang relevan bagi persoalan-persoalan yang tertunda
dan menekan. Inilah mengapa Arkoun lebih suka berbicara mengenai strategi
dekonstruksi, kita harus mendekonstruksi
imaginaire sosial yang telah
distrukturkan selama berabad-abad oleh fenomena Kitab sperti halnya dengan
kekuatan-kekuatan sekular dari peradaban material sejak abad ke-17.
6.
Wahyu dan Sejarah
Strategi dekonstruksi mengarah pada konfrontasi mutlak yang
menentukan dalam masyarakat-masyarakat kitab. Ketika kita menemukan fungsi imaginaire sosial seperti menghasilkan
sejarah kelompok, kita tidak bisa lagi mempertahankan teori tentang wahyu
seperti yang telah dielaborasi sebelumnya, yaitu sebagai citra-citra yang
dihasilkan fenomena kompleks dari intervensi profetik.
Al-Qur’an menekankan pentingnya manusia untuk mendengar, menyadari,
merefleksikan, menembus, memahami, dan merenungkan. Semua kata kerja ini
merujuk pada aktivitas-aktivitas intelektual yang mengarah pada suatu jenis
rasionalisasi yang didasarkan pasa paradigma eksistensial yang diungkapkan
bersama sejarah keselamatan. Sejarah merupakan inkarnasi aktual dari wahyu sebagiamana ia diinterpretasikan
oleh para ulama dan disimpan dalam kenangan kolektif. Wahyu memelihara
kemungkinan memberi sebuah legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan
proses historis yang diterima oleh kelompok itu. Namun kemungkinan ini fapat
dipertahankan hanya sealam sistem kognitif yang didasarkan pada imaginaire sosial, tidak digantikan oleh
suatu rasionalitas baru, rasionalitas yang lebih masuk akal berkaitan dengan
organisasi yang berbeda dari wilayah sosial historis. Inilah satu alasan bagi
pertentangan yang sudah dikenal antara kaum falasifa
dan mutkallimun, atau fuqaha.
4. Pemikiran Mohammad Arkoun yang Exist
a.
Tradisi Hermeneutik
Arkoun dengan pemikirannya berusaha
memperkenalkan pendekatan pemikiran hermeneutika sebagai methodologi kritis
yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan
aturan di dekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode
hermeneutika histories-kontekstual. Karena sikap dari setiap pengarang, teks
dan pembaca tidaklah lepas dari konteks sosial, politis, psikologis, teologis
dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah
yang di perlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka dan tidak pernah selesai, dalam istilah
lain bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup karena pemaknaan dan pemahamannya
selalu berkembang seiring dengan perkembangan ummat Islam yang selalu terlibat
dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin
dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak
semua tertampung oleh bahasa Arab yang bersifat lokal kultural, serta terungkap
melalui tradisi kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu
muncul ulama’ tafsir yang berusaha mengaktualisasikan pesan Al Qur’an-Al Hadits
dan tataran tradisi keislaman yang tidak mengenal batas akhir waktu. Ketika
mendekati (membaca dan memahami) Al Qur’an dan tradisi keislaman muncullah tiga
kesimpulan:
(a). Sebagian kebenaran pernyataan Al Qur’an baru akan kelihatan di masa
depan.
(b). Kebenaran yang ada pada Al-Qur’an berlapis-lapis atau berdimensi
majemuk, sehingga potensi pluralitas pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an
adalah hal yang sangat wajar dan lumrah atau bahkan di kehendaki oleh Qur’an
sendiri.
(c). Terdapat doktrin dan tradisi keislaman histories-aksidental
sehingga tidak ada salahnya jika doktrin dan tradisi keislaman itu di pahami
ulang dan di ciptakan tradisi baru. Kesimpulan yang terakhir ini bisa
menyangkut ayat-ayat soal pembagian harta waris, posisi wanita dalam
masyarakat, dan hubungan ummat Islam dengan agama lain.[9]
b. Pembacaan Al-Qur’an
Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran
teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah
terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir
umat sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran
(professoral). Selain itu, kemiskinan usaha untuk memahami wahyu dari segala
dimensinya juga telah terjadi. Untuk itulah tujuan qira’ah menurut Arkoun
adalah untuk comprendre, yakni
mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang
bersangkutan dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi
makna. Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an:
(a). Secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang
dilakukan saat shalat, doa-doa tertentu dan ibadah yang lain yang bertujuan
untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama
kali” agar didapatkan kembali kondisi seperti “ujaran I”. Dengan cara ini,
manusia melakukan komunikasi rohani secara horisontal maupun vertikal dan
sekaligus melakukan pembatinan kandungan wahyu.
(b). Secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran
yang termaktub di dalam mushaf.
(c). Dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan
oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.
c. Pluralisme Agama
Mohammed Arkoun menyatakan bahwa Islam akan meraih kejayaannya
jikalau umat Islam mau membuka diri terhadap pluralisme pemikiran dan
Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan,
sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Arkoun mengungkapkan,
humanisme Timur Tengah muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran yang didasarkan
pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan,
dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam satu Majelis dengan saling berhadapan
muka untuk berbicara dan bertukar pikiran. Namun, memasuki abad ke-13, umat
Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi.
Dalam Islam klasik, kata Arkoun, ketika
debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan
keragaman teologi, terjadilah perdebatan yang seru bagaimana
menginterpretasikan AlQuran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada
teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi
kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam
Islam sehingga Islam harus berusaha memunculkan kembali dan mempertahankan
kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini
penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan
kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Menurut Arkoun, umat Islam bisa
membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara
politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak
dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern,
karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci. Sebenarnya,
umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya
kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru
pascakolonial. Namun sayangnya kesempatan itu hilang. Islam kemudian
dipergunakan tidak lebih sebagai alat
politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman.
Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan
Islam akan bekerja sama dalam membangun demokrasi yang tidak hanya berlandaskan
pada negara-bangsa, tetapi juga pada manusia.
Menurut dia, munculnya Uni Eropa
merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan
membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan
kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa
ini. Model ini bisa diadopsi oleh
negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif
humanisme. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada
humanisme. Sehingga, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa
asing, sejarah ,dan antropologi serta perbandingan sejarah dan antropologi
agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito
Mimoun, Kabilia sebelah timur Aljir, Aljazair. Menurut Mohammed Arkoun, pada saat ini usaha
intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran
tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi
karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan
mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.
Tujuan
yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi
epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui contoh
yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial
sejarah. Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis
yang dilakukannya ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya
pendekatan teologis dan filosofis, namun dengan tujuan untuk memperkaya
pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang
selalu dipraktekkan di dalam Islam.
Catatan penting dalam
pemikiran Arkoun adalah tentang perlunya kesadaran dan daya kritis tinggi untuk
mencermati khasanah pengetahuan Barat yang dipakai dalam mengkaji nilai Islam.
Ia sebenarnya punya filterisasi atas barat
untuk memadukannya dengan Islam. Pisau analisisnya adalah perangakat teoritis
barat yang digunakannya untuk mengislamisasikan nilai yang terbaratkan. Arkoun
juga ingin menyatukan semua perbedaan identitas sesama umat Islam, bahkan dengan nonmuslim. Mencitrakan islam baik
isi nilai keislaman maupun muatan permukaan dari umatnya, agar persepsi yang
keliru dari masyarakat barat terhadap islam dapat dihilangkan. Arkoun
mencitrakan Islam bukan dengan cara menonjolkan islam dalam keanekaragaman,
tapi Islam yang Islami dalam kesatuan.
Adapun essai yang dikembangkan oleh
Arkoun yang didalamnya membahas mengenai: alat-alat untuk pemikiran baru, mode-mode pemikiran, dari yang tak terpikirkan ke yang terpikirkan, masyarakat Kitab, strategi dekonstruksi, dan
wahyu dan
sejarah. Pemikiran Arkoun sangat fenomenal, diantaranya yang exist yakni mengenai tradisi
hermenetik, pembacaan Al-Quran, dan pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Mohammed. 2005. Islam Kontemporer menuju dialog antar agama.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Taufik, Akhmad,dkk. 2004. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.
Jakarta : Raja Grafindo Persada
Meuleman,
Johan
Hendrik, 1996. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta.
EdiPurwanto,http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammad-arkoun-membuka-pluralisme-beragama/, diakses pada hari kamis tgl.27-10-11 jam 13.00
WIB.
[2] Merupakan salah satu bahasa Berber yang
diwarisi Afrika Utara sejak zaman pra-Islam dan pra-Romawi
[3] Johan Hendrik Meuleman, “Pengantar” dalam
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern; terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1
[4] Edi Purwanto http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/04/14/mohammad-arkoun-membuka-pluralisme
[5] Mohammed
Arkoun, Islam Kontemporer Menuju
Dialog Antar Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 hlm viii
[6] Akhmad Taufik, M.Pd, dkk,
Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam, hlm. 205
[7] Ibid, hlm. 207
[8] Akhmad Taufik, M.Pd, dkk,
Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme
Islam, hlm. 207
[9] Johan Hendrik Meuleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme,
Yogyakarta, 1996, hlm 26
bagaimana respon bapak malik atas makalah ini? terima kasih ..hehe
BalasHapus